Minggu, 11 November 2012

FILSAFAT HEDONISME : SUATU GAYA HIDUP


FILSAFAT HEDONISME : SUATU GAYA HIDUP

A.    PENDAHULUAN
Setiap manusia pasti menginginkan kebahagiaan dan kesenangan dalam hidupnya. Kebahagiaan dan kesenangan adalah hak bagi setiap manusia. Bermacam-macam cara dilakukan untuk meraih yang namanya kebahagiaan, baik itu dengan cara yang halal maupun cara yang haram. Bila kita melihat masyarakat disekeliling kita cenderung mencari dan mengutamakan kebahagiaan dirinya bagaimanapun caranya.
Masyarakat kita cenderung mencari kesenangan dan kebagahiaan dengan berbagai cara bahkan sampai menghalalkan seggala cara. Inilah yang biasa kita kenal dengan dengan masyarakat hedonis dan permisif. Ditambah lagi dengan pola hidup konsumtif lengkap sudah  kemerosotan nilai sosial dalam masyarakat disekitar kita. Pola hidup semacam ini mudah sekali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Banyak kita lihat di media masa dan media televisi seorang reporter berkata bahwa gaya hidup masyarakat sekarang sudah mengarah ke arah hedonisme. Dari artis yang hidup glamor hingga anggota DPR yang digaji dari uang rakyat pun tidak luput dari gaya hidup hedonisme.
Media memang menyuguhkan beberapa hal informasi, seperti berita politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Seperti juga penawaran iklan tentang berbagai produk yang secara sadar maupun tidak telah membius masyarakat. Kaum remaja yang masih diliputi jiwa yang labil menjadi sasaran utama para produsen produk-produk terkenal ini. Tidak mengherankan jika budaya konsumtif yang sebelumnya sudah melekat dalam diri bangsa ini dikuatkan lagi dengan budaya hedonisme. Globalisasi dalam segala aspek menjadi magnum opusnya (cikal-bakal). Siklus kehidupan yang seperti ini seakan menjadi suatu pola baru dan gaya hidup baru. Kemunculan budaya hedonisme ini terjadi tanpa kita sadari seiring dengan gerak zaman yang semakin modern. Gaya hidup yang glamor semakin digandrungi oleh para remaja, seakan ada istilah “ga style itu ga gaul”. Mereka yang sudah tergila-gila dengan budaya konsumtif akan rela melakukan apa saja demi memenuhi hasrtanya. Seperti perburuan fashion terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu,  HP model terbaru, dan bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini.
B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Hedonisme
Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?” Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang ‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja –seperti Kaum Aristippos–, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Tokoh dalam paham ini ada dua. Pertama Aristippus dari Kyrene adalah seorang filsuf Yunani yang memperlajari ajaran-ajaran Protagoras. Ini dilakukannya selama berada di kota asalnya, yaitu Kyrene, Afrika Utara. Aristippus kemudian mencari Sokrates dan menjalin hubungan baik dengannya. Setelah Sokrates wafat, Aristippos tampil sebagai “Sofis” dan menjadi guru profesional di Atena. Lalu di Kyrene ia mendirikan sekolah yang dinamakan ”Cyrenaic School” yang merupakan salah satu sekolah Sokratik yang tidak dominan. Sekolah ini mengajarkan perasaan-perasaan sebagai kebenaran yang paling tepat dalam hidup. Kesenangan adalah baik –termasuk juga kepuasan badani– Kehidupan orang bijak selalu mencari jaminan kesenangan maksimal.
Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari “yang baik”. Akan tetapi, ia menyamakan “yang baik” ini dengan kesenangan “hedone”. Menurutnya, akal (rasio) menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup yang baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan. Kesenangan menurut Aristoppus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi tiga kemungkinan:
1. Gerak kasar, yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa sakit
2. Gerak halus, yang membuat kesenangan
3. Tiada gerak, yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi saat tidur.
Aristippus melihat kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas.
Meskipun kesenangan dijunjung tinggi oleh Aristoppus, ada batasan kesenangan itu sendiri. Batasan itu berupa pengendalian diri. Meskipun demikian, pengendalian diri ini bukan berarti meninggalkan kesenangan. Misalnya, orang yang sungguh-sungguh mau mencapai nikmat sebanyak mungkin dari kegiatan makan dan minum bukan dengan cara makan sebanyak-banyaknya atau rakus, tetapi harus dikendalikan/dikontrol agar mencapai kenikmatan yang sebenarnya.
Kedua adalah Epikuros yang lahir tahun 342 SM di kota Yunani, Samos, dan meninggal di Atena tahun 270 SM. Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan/harta yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar. Oleh sebab itu kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya untuk mencapai ”Ataraxia”, yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu, ada sebuah perhitungan yangdilakukan oleh Kaum Epikurean dalam mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia. Kebahagiaan yang dituju oleh Kaum Epikurean adalah kebahagiaan pribadi (privatistik). Epikuros menasihatkan orang agar tidak mendekatkan diri kepada kehidupan umum (individualisme). Ini bukanlah egoisme. Menurut Epikuros, kebahagiaan terbesar bagi manusia adalah persahabatan. Berkumpul dan berbincang-bincang dengan para kawan dan membina persahabatan jauh lebih menguntungkan dan membantu mencapai ketenangan jiwa.
2.      Pengertian Hedonisme
Pemahaman tentang apa itu hedonisme? Bagaimana bentuk nyata hedonisme? Bagaimana batasan hedonisme? Apakah hedonisme itu paham positif atau negatif? Menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji saat ini. Hal ini dikarenakan sudah berkembangnya istilah hedonisme dalam kehidupan bermasyarakat. Baik remaja ataupun masyarakat pada umumnya. Sehingga muncul banyak pernyataan para ahli dalam bidangnya sosiologi khususnya dalam membahas masalah hedonisme ini. Berikut berbagai macam pemahaman yang didapat penulis dari berbagai macam sumber referensi.
Pertama, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Kedua, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hedonisme adalah pandangan yg menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Ketiga, hedonisme dari kata “hedone” (Yunani) yang berarti kesenangan, hedonisme adalah pandangan moral bahwa hal yang baik hanya kesenangan.
Keempat, Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. [1] Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (wikipedia).
Kelima, Hedonisme adalah mencapai kesenangan (pleasure) – di mana mengalami kesakitan sementara waktu demi suatu kesenangan artinya termasuk hedonisme juga jika segala sesuatu berujung pada kesenangan (pleasure) -. Jika dalam definisi ini, beragama belum tentu juga tak masuk hedonisme jika tujuannya adalah kesenangan di belakang. Ciri-ciri hedonisme adalah membagi dan mendikotomikan hidup jadi dua, kesenangan dan kesusahan. Dan dalam bentuk halusnya, hedonisme bahkan bisa berbentuk alim. Salah satu cara untuk dapat membedakan semangat hedonisme adalah, semangatnya untuk diri-sendiri. Jika semua yangg dilakukan adalah berujung pada sesuatu yang untuk dirinya sendiri, maka unsur hedonisme patut dicurigai kental ada di dalamnya.
Ide hedonisme berlawanan dengan ide bahwa senang dan susah datang bergantian, masing-masing ada tujuannya – tidak lepas dari pengetahuan Sang Pencipta. Karena itulah hedonisme sangat diterima oleh penganut ide-ide yangg menolak adanya Sang Pencipta.
Keenam, hedonisme menurut Susanto (2011:181) adalah sesuatu dianggap baik bila mengandung kenikmatan bagi manusia. Namun, kaum hedonis memiliki kata kesenangan menjadi kebahagiaan. Kemudian Jeremy Bentham dalam Fuad Farid Ismail (2012:299) mengatakan bahwasanya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-satunya motif yang memerintah manusia, dan beliau mengatakan juga bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang adalah tergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.
Ketujuh. Adapun hedonisme menurut Burhanuddin (1997:81) adalah sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang didatangkannya. Disini jelas bahwa sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan dan tidak menyenangkan, dengan sendirinya dinilai tidak baik. Orang-orang yang mengatakan ini, dengan sendirinya, menganggap atau menjadikan kesenangan itu sebagai tujuan hidupnya.
Disini jelas bahwa hedonisme ialah perbuatan yang diantara segenap perbuatan yang dapat dilakukan oleh seseorang akan membawa orang tersebut merasakan kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap hembusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam. Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan pemahaman positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis yang lebih mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan kenikmatan.
Kedelapan, menurut hedonisme psikologis,tidak dapat disangkal bahwa manusia selalu tertarik oleh perasaan nikmat,sekaligus secara otomatis condong menghindari perasaan-perasaan tidak enak.Manusia berusaha keras untuk mencapai tujuannya.Keberhasilan mencapai tujuan inilah yang kemudian membuatnya nikmat atau puas.
Sementara itu berkenaan dengan hedonisme etis ada dua gagasan yang patut diperhatikan. Pertama, kebahagiaan tidak sama dengan jumlah perasaan nikmat.Nikmat selalu berkaitan langsung dengan sebuah pengalaman ketika sebuah kecondongan terpenuhi,begitu pengalaman itu selesai, nikmatpun habis. Sementara itu,kebahagiaan menyangkut sebuah kesadaran rasa puas dan gembira yang berdasarkan pada keadaan kita sendiri,dan tidak terikat pada pengalaman-pengalaman tertentu. Dengan kata lain,kebahagiaan dapat dicapai tanpa suatu pengalaman nikmat tertentu. Sebaliknya, pengalaman menikmati belum tentu membuat bahagia.
Kedua, jika kita hanya mengejar nikmat saja,kita tidak akan memperoleh nilai dan pengalaman yang paling mendalam dan dapat membahagiakan. Sebab, pengalaman ini hanya akan menunjukan nilainya jika diperjuangkan dengan pengorbanan. Misalnya;dalam persahabatan dan cinta.Kita tidak akan sanggup menggoreskan kesan mendalam dalam persahabatan dan cinta jika pertimbangan yang mendasari hanya karena ketampanan,kecantikan,kekayaan atau penampilan fisik lainya.Hasilnya adalah sesuatu yang kering,yang hanya berasa ketika bahagia,namun hambar ketika susah.
3.      Karakteristik Hedonisme
Karakteristik hedonisme adalah kebendaan dengan ukuran fisik harta, atau apa saja yang tampak, yang dapat dinilai dengan uang. Jadi disini orang yang sudah senang karena harta bendanya yang banyak, sudah sama artinya dengan orang yang bahagia atau dengan kata lain : Bahagia sama dengan Kesenangan. Di sini hedonisme dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik:


a.      Hedonisme Egoistis
Yaitu hedonisme yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam. Contohnya: makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya, seperti pada perjamuan makan ala Romawi. Bila perut sudah penuh, maka disediakan sebuah alat untuk menggitit kerongkongan, dengan demikian isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain, sampai puas.
b.       Hedonisme Universal
Yaitu suatu aliran hedonisme yang mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal bagi semua, bagi banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang. Sebenarnya tidak bisa disangkal lagi bahwa hedonisme banyak jenisnya, secara garis besarnya kesenangan dapat dibagi atas dua golongan:
(1). Kesenangan Fisik
Yang pokok disini ialah kesenangan yang dapat dirasakan dinikmati oleh batang tubuh/raga. Sumber dan jenisnya dari makan minum, yang menerima kesenangan itu dari tenggorokkan sampai keperut. Hasil kesenangan itu biasa dinilai dengan sebutan nikmat, enak, sedap, nyaman, delicious, dan sebagainya.
Bila sumbernya hubungan badani (coitus), maka yang menerima kesenangan itu adalah alat kelamin, seluruh badan jasmani, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: nikmat, enak, sedap dan sebagainya. Bila sumbernya sebagai hasil kerja, misalnya pekerjaan tangan, atau sesuatu yang menggunakan tenaga seperti pekerjaan di pelabuhan, di kebun, di pertambangan, dan sebagainya, maka kesenangan itu dinilai dengan sebutan: memuaskan, beres, selesai, upahnya pantas dan sebagainya.
(2) Kesenangan Psychis/Rohani
Bila sumbernya itu sebagai hasil seni, apakah bentuknya itu berupa puisi atau prosa, lukisan atau patung, atau serangkaian lagu-lagu merdu/musik, maka hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menarik, hebat, indah, memuaskan mengasikkan, dan sebagainya. Penilaian ini diberikan oleh rasa, emosi, dan getaran jiwa. Bila sumbernya itu berasal dari hasil pikir, yang merasakan kesenangan itu adalah otak, pikir, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: ilmiah, merangsang otak, hebat, pemikiran yang mendalam, intellegensi yang tinggi, mengagumkan dan sebagainya. Bila sumbernya adalah kepercayaan yang menikmati kesenangan itu adalah jiwa, perasaan, rohani, hati, dimana kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menentramkan jiwa, meresapkan rasa iman, rasa takwa, syahdu, suci, yakin dan sebagainya.
Karakteristik menurut Pospoprodijo (1999:71) Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan untuk hidup saja, yakni kesenangan yang kita dapat dengan perantara kemampuan-kemampuan kita dari subyek-subyek yang mengelilingi kita di dunia ini.

4.      Hedonisme di Kalangan Remaja
Generasi yang paling tidak aman terhadap sebutan hedonis adalah remaja.Paham ini mulai merasuki kehidupan remaja. Remaja sangat antusias terhadap adanya hal yang baru. Gaya hidup hedonis sangat menarik bagi mereka. Daya pikatnya sangat luar biasa, sehingga dalam waktu singkat munculah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena yang muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serbakecukupan tanpa harus bekerja keras. Titel “remaja yang gaul dan funky ” baru melekat bila mampu memenuhi standar tren saat ini.Yaitu minimal harus mempunyai handphone, lalu baju serta dandanan yang selalu mengikuti mode. Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit, sehingga dapat memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Akan tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil. Tidaklah mengherankan, jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di sekitar kehidupan kampus. Misalnya adanya “ayam kampus” ( suatu pelacuran terselubung yang dilakukan oknum mahasiswi), karena profesi ini dianggap paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja gaul dan funky. Contoh lain yang sederhana adalah misal ada remaja yang malas belajar tapi dia ingin memperoleh nilai yang baik dengan mencontek.Itu merupakan salah satu contoh kecil dari sikap Hedonisme.
Kasus yang terjadi seperti hubungan seks yang sudah dianggap sebagai hal yang biasa saat ini, kasus tersebut merupakan salah satu fenomena hedonisme generasi muda dari sekian banyak yang lain yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Keinginan yang berlebihan terhadap modernitas ini sepeti ingin memiliki barang-barang yang mewah, kehidupan dunia modern yang setiap sabtu malam datang untuk melaksanakan ibadah rutinan di bar-bar, diskotik dan sebagainya., itu dijadikan sebagai suatu kebutuhan yang dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi dan kalau tidak terpenuhi maka mendapatkan dosa karena dianggap masih menjadi manusia tradisional atau mahasiswa tradisional yang kerjanya hanya belajar, membaca, diskusi, kajian dan sebagainya.
5.      Hedonisme di Kalangan Remaja Dalam Ilmu Sosial.
Hedonisme terjadi karena adanya perubahan perilaku pada masyarakat yang hanya menghendaki kesenangan.Perilaku tersebut lama kelamaan mengakar dalam kehidupan masyarakat termasuk para remaja yang pada akhirnya menjadi seperti sebuah budaya bagi mereka tingkat pengetahuan dan pendidikan juga sangat berpengaruh pada pembentukan sikap mental para remaja.Tapi sayangnya kadang semua hal itu terkalahkan dengan rendahnya cara berfikir mereka dalam menyikapi berbagai persoalan. Banyak diantara para remaja yang melarikan diri dari masalah dengan berhura-hura. Kebiasaan seperti inilah yang kemudian menjadi kebudayaan di kalangan remaja.
Dalam identifikasi mentalitas budaya yang dikemukakan Sorokin, sikap hedonisme yang telah menjadi budaya hedon di kalangan remaja dimasukkan dalam kebudayaan indrawi. Yaitu kebudayaan indrawi pasif dan kebudayaan indrawi sinis. Kebudayaan indrawi pasif yang meliputi hasrat menikmati kesenangan indrawi setinggi-tingginya (“eksplorasi parasit”, dengan motto makan minum dan kawinlah sebab besuk kita akan mati).Pola pikir seperti itulah yang mengajak para remaja hanya bersenang-senang selagi ada kesempatan,seakan-akan hidup hanya”mampir”karena itulah mereka hanya mengejar kesenangan,padahal masih banyak hal yang bernilai dalam hidup ini selain makan minum dan bersenang-senang saja.
Kebudayaan indrawi sinis, yang mengejar tujuan jasmaniah dengan mencari pembenaran rasionalisasi ideasional (yang sebenarnya tidak diterimanya). Banyak hal yang dilakukan para remaja untuk mencapai apa yang diinginkannya, missal: seorang remaja putri ingin mempunyai telepon genggam model terbaru tapi karena dia tidak mempunyai uang maka dia rela menjual dirinya agar memperoleh uang. Remaja tersebut membenarkan tindakannya karena dengan cara itu dia memperoleh apa yang diinginkannya.
6.      Hedonisme Dalam Pandangan Islam
Islam adalah ajaran yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, praktis, dan mudah. Islam memberikan tuntunan terkait hal yang bersifat individu dan yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)Islam mengajak manusia ke alam nan bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh makna. Islam membebaskan manusia dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendali hidup. Melalui Islam, manusia menjadi tercerahkan. Kebodohan yang tergumpal di dada manusia terbuncah, memberai lalu sirna. Islam dengan sinarnya yang kemilau memupus kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap nilai jahiliah.
Adapun orang-orang yang berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya senantiasa diwarnai oleh noda hitam pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.“Barang siapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima (amal perbuatannya) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85). Lantaran keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang lurus dan benar, mereka lebih condong bergelut dengan beragam maksiat. Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba mereguk materi sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu semu, tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’, mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan menerobos rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap. Bagai dikebiri, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai sosok muslim taat pun mandul. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Allah  menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179).
Karena keadaan hati yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan ortodoks. Islam hanya akan mengekang kebebasan manusia dalam berbuat, berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam mereka tuduh sebagai manusia picik. Singkat kata, Islam hanya akan memberangus apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan mengebiri pergaulannya. Padahal Allah  berfirman, “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78).  “Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3).
Celoteh mereka hakikatnya menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar. Bisa jadi, hal itu karena kedengkian yang ada pada hati mereka. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, yang jelas sikap apriori mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan mendapat angin segar. Inilah gerakan yang disinyalir melalui firman-Nya, “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf: 8).
Akibat sikap buruk terhadap Islam, mereka pun mematri aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerusakan di semua lini kehidupan. Dalam pergaulan antarjenis manusia, kerusakan kronis telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa takut kepada Allah, tanpa malu, dan tanpa risih mereka tiru mentah-mentah perbuatan yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata, “Sesungguhnya dari apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no. 6120 dari sahabat Abu Mas’ud z).
Menjelaskan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan mengantarkan kepada hal yang tak patut, seperti perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 181).
Jika malu sudah tidak lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah  dan Rasul-Nya menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata risih. Jangankan malu, risih saja tidak. Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern. Kalau tidak berbuat dan menerapkan hal demikian, bakal merugikan kehidupannya, masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Fenomena ini digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya, Katakanlah, “Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104).
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50). Padahal, apa yang dibanggakannya bisa menjadi sumber bencana. Prinsip-prinsip yang menggayut dalam benaknya adalah pemantik petaka dan perantara turunnya azab Allah. Firman-Nya, “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63).
Maka dari itu, yang sekiranya hal itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi. Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah. Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Apa yang telah kularang padamu darinya, tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu Hurairah). Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli kesenangan yang didapat dia tempuh dengan cara apa. Baginya, kesenangan adalah satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup kaum hedonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa Yunani yang berarti kesenangan) digulirkan oleh salah seorang murid Socrates yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55).
Pemahaman ini diusung pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan ide Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan ide bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebagian manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu birahi cenderung meningkat dan digandrungi. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah merembes dan menjadi bagian hidup sebagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bagian yang menyenangkan saja. Adapun hal yang bakal memayahkannya, dia hindari. Dia tidak mau peduli bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu dirinya hanya bisa nongkrong di mal, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah sebenarnya bisa. Apa yang melekat pada dirinya harus selalu terkesan mewah dan elegan.
Gaya hidup hedonis identik dengan gaya hidup glamor, hura-hura, foya-foya, dan bersenang-senang. Gaya hidup hedonis akan mengantarkan seseorang pada sikap mental yang tidak mau peduli dan peka melihat keberagaman hidup, tidak memiliki sensitivitas terhadap kesulitan hidup orang lain. Singkat kata, gaya hidup hedonis melahirkan manusia-manusia yang tumpul sikap sosialnya, melahirkan jenis manusia asosial. Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun kampung akhirat adalah hal yang lebih utama. Allah  berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32).
Rasulullah saw. mengibaratkan kehidupan dunia bagai seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon. Kala lelah telah sirna dari tubuhnya, pengelana itu pun melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat sesaat. Nabi saw. bersabda, “Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669). Dalam sebuah hadits dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi  disebutkan, “Seorang lelaki datang kepada Nabi . Laki-laki itu berkata kepada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab Rasulullah saw, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944). 
Sikap zuhud bisa dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan dari hartanya guna kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95).
Menyikapi kehidupan dunia dengan bimbingan syariat, niscaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau oleh kemilau dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan abadi. “Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17). Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah, “Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya) adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5). Begitulah dunia, dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.
7.      DAMPAK HEDONISME MASA KINI
Arus globalisasi turut serta mendukung maraknya budaya hedonisme yang berkembang pesat dilingkungan masyarakat Indonesia. Perkembangan paling pesat terlihat dari kalangan mahasiswa, yang diposisikan sebagai golongan intelektual muda. Hal tersebut yang menyebabkan terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu. Sesungguhnya keinginan untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri semua manusia, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam masyarakat karena hal itu akan banyak menimbulkan dampak negatif. Sebenarnya kita boleh gaul tapi jangan over, senang-senang juga tidak dilarang apalagi bagi para pemuda pemudi tapi kesenangan itu jangan dilakukan setiap saat.  Hedonisme rawan menimbulkan sifat individualisme karena manusia cenderung akan bekerja keras untuk memenuhi kesenangannya tanpa mempedulikan orang lain di sekitarnya.
DAMPAK NEGATIF HEDONISME
      Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri. Jika hal-hal tersebut mampu menggeser budaya bangsa Indonesia maka sedikit demi sedikit Indonesia akan kehilangan jati diri yang sesungguhnya.
      Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraa, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
      Sikap egoisme akan semakin membudaya, inilah bukti hedonisme yang menjadi impian kebanyakan anak muda.
      Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler karena sistem inilah yang menyebabkan hedonisme berkembang secara pesat.
      Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
      Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang akhir-akhir ini marak terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
C.     PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Paham Hedonisme adalah paham yang bertentangan dengan Islam, yang artinya adalah haram bagi kaum muslim menjadikannya sebagai bagian dari aktivitasnya. Dan juga haram untuk meyakini bahwa hedonisme adalah sesuai Islam.
b.      Kaum muslim boleh mempelajari paham hedonisme dalam rangka untuk mengkritik dan juga untuk memberikan kesalahan paham ini kepada kaum muslim yang lain.
c.       Hedonisme adalah derivasi (turunan) dari liberalisme. Sebuah pandangan hidup bahwa kesenangan adalah segalanya, bahkan kehidupan itu sendiri. Bagi kaum hedonis, hidup adalah meraih kesenangan materi: sesuatu yang bersifat semu, sesaat, dan artifisial.
d.      Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal dan memberikan kepuasaan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.


DAFTAR PUSTAKA

Albert E. Avey.1954, Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnes & Noble, Inc. Hlm. 23.
Dr. Fuad Farid Ismail., Dr. Abdul Hamid Mutawali. 2012. Cara Mudah Blajar Filsafat. Jogjakarta: IRCISOD
Drs. A. Susanto, M.Pd. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis, Epistomologis dan Aksiologis.Jakarta: Bumi Aksara.
Eduard Zeller.1957, Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. Hlm. 129-133.
Franz Magnis-Suseno.1997, 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 49-50.
Franz Magnis-Suseno.1987, Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 114.
Haditomo, Siti Rahayu dkk.2006.PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.Jogjakarta : Gadjah Mada Universiti Press
Henk ten Napel.2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 158.
http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/
Kattsoff,Louis O.2004.PENGANTAR FILSAFAT.Jogjakarta:Tiara Wacana
Lorens Bagus.2000, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Hlm. 282.
Sensa, Muhammad Djarot.2005.KOMUNIKASI QUR’ANIYAH.Bandung: Pustaka Islamika

FILSAFAT HEDONISME : SUATU GAYA HIDUP


FILSAFAT HEDONISME : SUATU GAYA HIDUP

A.    PENDAHULUAN
Setiap manusia pasti menginginkan kebahagiaan dan kesenangan dalam hidupnya. Kebahagiaan dan kesenangan adalah hak bagi setiap manusia. Bermacam-macam cara dilakukan untuk meraih yang namanya kebahagiaan, baik itu dengan cara yang halal maupun cara yang haram. Bila kita melihat masyarakat disekeliling kita cenderung mencari dan mengutamakan kebahagiaan dirinya bagaimanapun caranya.
Masyarakat kita cenderung mencari kesenangan dan kebagahiaan dengan berbagai cara bahkan sampai menghalalkan seggala cara. Inilah yang biasa kita kenal dengan dengan masyarakat hedonis dan permisif. Ditambah lagi dengan pola hidup konsumtif lengkap sudah  kemerosotan nilai sosial dalam masyarakat disekitar kita. Pola hidup semacam ini mudah sekali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Banyak kita lihat di media masa dan media televisi seorang reporter berkata bahwa gaya hidup masyarakat sekarang sudah mengarah ke arah hedonisme. Dari artis yang hidup glamor hingga anggota DPR yang digaji dari uang rakyat pun tidak luput dari gaya hidup hedonisme.
Media memang menyuguhkan beberapa hal informasi, seperti berita politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Seperti juga penawaran iklan tentang berbagai produk yang secara sadar maupun tidak telah membius masyarakat. Kaum remaja yang masih diliputi jiwa yang labil menjadi sasaran utama para produsen produk-produk terkenal ini. Tidak mengherankan jika budaya konsumtif yang sebelumnya sudah melekat dalam diri bangsa ini dikuatkan lagi dengan budaya hedonisme. Globalisasi dalam segala aspek menjadi magnum opusnya (cikal-bakal). Siklus kehidupan yang seperti ini seakan menjadi suatu pola baru dan gaya hidup baru. Kemunculan budaya hedonisme ini terjadi tanpa kita sadari seiring dengan gerak zaman yang semakin modern. Gaya hidup yang glamor semakin digandrungi oleh para remaja, seakan ada istilah “ga style itu ga gaul”. Mereka yang sudah tergila-gila dengan budaya konsumtif akan rela melakukan apa saja demi memenuhi hasrtanya. Seperti perburuan fashion terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu,  HP model terbaru, dan bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini.
B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Hedonisme
Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?” Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang ‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja –seperti Kaum Aristippos–, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Tokoh dalam paham ini ada dua. Pertama Aristippus dari Kyrene adalah seorang filsuf Yunani yang memperlajari ajaran-ajaran Protagoras. Ini dilakukannya selama berada di kota asalnya, yaitu Kyrene, Afrika Utara. Aristippus kemudian mencari Sokrates dan menjalin hubungan baik dengannya. Setelah Sokrates wafat, Aristippos tampil sebagai “Sofis” dan menjadi guru profesional di Atena. Lalu di Kyrene ia mendirikan sekolah yang dinamakan ”Cyrenaic School” yang merupakan salah satu sekolah Sokratik yang tidak dominan. Sekolah ini mengajarkan perasaan-perasaan sebagai kebenaran yang paling tepat dalam hidup. Kesenangan adalah baik –termasuk juga kepuasan badani– Kehidupan orang bijak selalu mencari jaminan kesenangan maksimal.
Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari “yang baik”. Akan tetapi, ia menyamakan “yang baik” ini dengan kesenangan “hedone”. Menurutnya, akal (rasio) menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup yang baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan. Kesenangan menurut Aristoppus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi tiga kemungkinan:
1. Gerak kasar, yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa sakit
2. Gerak halus, yang membuat kesenangan
3. Tiada gerak, yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi saat tidur.
Aristippus melihat kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini. Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang belum jelas.
Meskipun kesenangan dijunjung tinggi oleh Aristoppus, ada batasan kesenangan itu sendiri. Batasan itu berupa pengendalian diri. Meskipun demikian, pengendalian diri ini bukan berarti meninggalkan kesenangan. Misalnya, orang yang sungguh-sungguh mau mencapai nikmat sebanyak mungkin dari kegiatan makan dan minum bukan dengan cara makan sebanyak-banyaknya atau rakus, tetapi harus dikendalikan/dikontrol agar mencapai kenikmatan yang sebenarnya.
Kedua adalah Epikuros yang lahir tahun 342 SM di kota Yunani, Samos, dan meninggal di Atena tahun 270 SM. Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang dijunjung Kaum Epikurean, melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan/harta yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar. Oleh sebab itu kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya untuk mencapai ”Ataraxia”, yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu, ada sebuah perhitungan yangdilakukan oleh Kaum Epikurean dalam mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia. Kebahagiaan yang dituju oleh Kaum Epikurean adalah kebahagiaan pribadi (privatistik). Epikuros menasihatkan orang agar tidak mendekatkan diri kepada kehidupan umum (individualisme). Ini bukanlah egoisme. Menurut Epikuros, kebahagiaan terbesar bagi manusia adalah persahabatan. Berkumpul dan berbincang-bincang dengan para kawan dan membina persahabatan jauh lebih menguntungkan dan membantu mencapai ketenangan jiwa.
2.      Pengertian Hedonisme
Pemahaman tentang apa itu hedonisme? Bagaimana bentuk nyata hedonisme? Bagaimana batasan hedonisme? Apakah hedonisme itu paham positif atau negatif? Menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji saat ini. Hal ini dikarenakan sudah berkembangnya istilah hedonisme dalam kehidupan bermasyarakat. Baik remaja ataupun masyarakat pada umumnya. Sehingga muncul banyak pernyataan para ahli dalam bidangnya sosiologi khususnya dalam membahas masalah hedonisme ini. Berikut berbagai macam pemahaman yang didapat penulis dari berbagai macam sumber referensi.
Pertama, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Kedua, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hedonisme adalah pandangan yg menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Ketiga, hedonisme dari kata “hedone” (Yunani) yang berarti kesenangan, hedonisme adalah pandangan moral bahwa hal yang baik hanya kesenangan.
Keempat, Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. [1] Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (wikipedia).
Kelima, Hedonisme adalah mencapai kesenangan (pleasure) – di mana mengalami kesakitan sementara waktu demi suatu kesenangan artinya termasuk hedonisme juga jika segala sesuatu berujung pada kesenangan (pleasure) -. Jika dalam definisi ini, beragama belum tentu juga tak masuk hedonisme jika tujuannya adalah kesenangan di belakang. Ciri-ciri hedonisme adalah membagi dan mendikotomikan hidup jadi dua, kesenangan dan kesusahan. Dan dalam bentuk halusnya, hedonisme bahkan bisa berbentuk alim. Salah satu cara untuk dapat membedakan semangat hedonisme adalah, semangatnya untuk diri-sendiri. Jika semua yangg dilakukan adalah berujung pada sesuatu yang untuk dirinya sendiri, maka unsur hedonisme patut dicurigai kental ada di dalamnya.
Ide hedonisme berlawanan dengan ide bahwa senang dan susah datang bergantian, masing-masing ada tujuannya – tidak lepas dari pengetahuan Sang Pencipta. Karena itulah hedonisme sangat diterima oleh penganut ide-ide yangg menolak adanya Sang Pencipta.
Keenam, hedonisme menurut Susanto (2011:181) adalah sesuatu dianggap baik bila mengandung kenikmatan bagi manusia. Namun, kaum hedonis memiliki kata kesenangan menjadi kebahagiaan. Kemudian Jeremy Bentham dalam Fuad Farid Ismail (2012:299) mengatakan bahwasanya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-satunya motif yang memerintah manusia, dan beliau mengatakan juga bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang adalah tergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.
Ketujuh. Adapun hedonisme menurut Burhanuddin (1997:81) adalah sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang didatangkannya. Disini jelas bahwa sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan dan tidak menyenangkan, dengan sendirinya dinilai tidak baik. Orang-orang yang mengatakan ini, dengan sendirinya, menganggap atau menjadikan kesenangan itu sebagai tujuan hidupnya.
Disini jelas bahwa hedonisme ialah perbuatan yang diantara segenap perbuatan yang dapat dilakukan oleh seseorang akan membawa orang tersebut merasakan kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap hembusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam. Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan pemahaman positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis yang lebih mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan kenikmatan.
Kedelapan, menurut hedonisme psikologis,tidak dapat disangkal bahwa manusia selalu tertarik oleh perasaan nikmat,sekaligus secara otomatis condong menghindari perasaan-perasaan tidak enak.Manusia berusaha keras untuk mencapai tujuannya.Keberhasilan mencapai tujuan inilah yang kemudian membuatnya nikmat atau puas.
Sementara itu berkenaan dengan hedonisme etis ada dua gagasan yang patut diperhatikan. Pertama, kebahagiaan tidak sama dengan jumlah perasaan nikmat.Nikmat selalu berkaitan langsung dengan sebuah pengalaman ketika sebuah kecondongan terpenuhi,begitu pengalaman itu selesai, nikmatpun habis. Sementara itu,kebahagiaan menyangkut sebuah kesadaran rasa puas dan gembira yang berdasarkan pada keadaan kita sendiri,dan tidak terikat pada pengalaman-pengalaman tertentu. Dengan kata lain,kebahagiaan dapat dicapai tanpa suatu pengalaman nikmat tertentu. Sebaliknya, pengalaman menikmati belum tentu membuat bahagia.
Kedua, jika kita hanya mengejar nikmat saja,kita tidak akan memperoleh nilai dan pengalaman yang paling mendalam dan dapat membahagiakan. Sebab, pengalaman ini hanya akan menunjukan nilainya jika diperjuangkan dengan pengorbanan. Misalnya;dalam persahabatan dan cinta.Kita tidak akan sanggup menggoreskan kesan mendalam dalam persahabatan dan cinta jika pertimbangan yang mendasari hanya karena ketampanan,kecantikan,kekayaan atau penampilan fisik lainya.Hasilnya adalah sesuatu yang kering,yang hanya berasa ketika bahagia,namun hambar ketika susah.
3.      Karakteristik Hedonisme
Karakteristik hedonisme adalah kebendaan dengan ukuran fisik harta, atau apa saja yang tampak, yang dapat dinilai dengan uang. Jadi disini orang yang sudah senang karena harta bendanya yang banyak, sudah sama artinya dengan orang yang bahagia atau dengan kata lain : Bahagia sama dengan Kesenangan. Di sini hedonisme dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik:


a.      Hedonisme Egoistis
Yaitu hedonisme yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam. Contohnya: makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya, seperti pada perjamuan makan ala Romawi. Bila perut sudah penuh, maka disediakan sebuah alat untuk menggitit kerongkongan, dengan demikian isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain, sampai puas.
b.       Hedonisme Universal
Yaitu suatu aliran hedonisme yang mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal bagi semua, bagi banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang. Sebenarnya tidak bisa disangkal lagi bahwa hedonisme banyak jenisnya, secara garis besarnya kesenangan dapat dibagi atas dua golongan:
(1). Kesenangan Fisik
Yang pokok disini ialah kesenangan yang dapat dirasakan dinikmati oleh batang tubuh/raga. Sumber dan jenisnya dari makan minum, yang menerima kesenangan itu dari tenggorokkan sampai keperut. Hasil kesenangan itu biasa dinilai dengan sebutan nikmat, enak, sedap, nyaman, delicious, dan sebagainya.
Bila sumbernya hubungan badani (coitus), maka yang menerima kesenangan itu adalah alat kelamin, seluruh badan jasmani, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: nikmat, enak, sedap dan sebagainya. Bila sumbernya sebagai hasil kerja, misalnya pekerjaan tangan, atau sesuatu yang menggunakan tenaga seperti pekerjaan di pelabuhan, di kebun, di pertambangan, dan sebagainya, maka kesenangan itu dinilai dengan sebutan: memuaskan, beres, selesai, upahnya pantas dan sebagainya.
(2) Kesenangan Psychis/Rohani
Bila sumbernya itu sebagai hasil seni, apakah bentuknya itu berupa puisi atau prosa, lukisan atau patung, atau serangkaian lagu-lagu merdu/musik, maka hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menarik, hebat, indah, memuaskan mengasikkan, dan sebagainya. Penilaian ini diberikan oleh rasa, emosi, dan getaran jiwa. Bila sumbernya itu berasal dari hasil pikir, yang merasakan kesenangan itu adalah otak, pikir, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: ilmiah, merangsang otak, hebat, pemikiran yang mendalam, intellegensi yang tinggi, mengagumkan dan sebagainya. Bila sumbernya adalah kepercayaan yang menikmati kesenangan itu adalah jiwa, perasaan, rohani, hati, dimana kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menentramkan jiwa, meresapkan rasa iman, rasa takwa, syahdu, suci, yakin dan sebagainya.
Karakteristik menurut Pospoprodijo (1999:71) Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan untuk hidup saja, yakni kesenangan yang kita dapat dengan perantara kemampuan-kemampuan kita dari subyek-subyek yang mengelilingi kita di dunia ini.

4.      Hedonisme di Kalangan Remaja
Generasi yang paling tidak aman terhadap sebutan hedonis adalah remaja.Paham ini mulai merasuki kehidupan remaja. Remaja sangat antusias terhadap adanya hal yang baru. Gaya hidup hedonis sangat menarik bagi mereka. Daya pikatnya sangat luar biasa, sehingga dalam waktu singkat munculah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena yang muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serbakecukupan tanpa harus bekerja keras. Titel “remaja yang gaul dan funky ” baru melekat bila mampu memenuhi standar tren saat ini.Yaitu minimal harus mempunyai handphone, lalu baju serta dandanan yang selalu mengikuti mode. Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit, sehingga dapat memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Akan tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil. Tidaklah mengherankan, jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di sekitar kehidupan kampus. Misalnya adanya “ayam kampus” ( suatu pelacuran terselubung yang dilakukan oknum mahasiswi), karena profesi ini dianggap paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja gaul dan funky. Contoh lain yang sederhana adalah misal ada remaja yang malas belajar tapi dia ingin memperoleh nilai yang baik dengan mencontek.Itu merupakan salah satu contoh kecil dari sikap Hedonisme.
Kasus yang terjadi seperti hubungan seks yang sudah dianggap sebagai hal yang biasa saat ini, kasus tersebut merupakan salah satu fenomena hedonisme generasi muda dari sekian banyak yang lain yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Keinginan yang berlebihan terhadap modernitas ini sepeti ingin memiliki barang-barang yang mewah, kehidupan dunia modern yang setiap sabtu malam datang untuk melaksanakan ibadah rutinan di bar-bar, diskotik dan sebagainya., itu dijadikan sebagai suatu kebutuhan yang dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi dan kalau tidak terpenuhi maka mendapatkan dosa karena dianggap masih menjadi manusia tradisional atau mahasiswa tradisional yang kerjanya hanya belajar, membaca, diskusi, kajian dan sebagainya.
5.      Hedonisme di Kalangan Remaja Dalam Ilmu Sosial.
Hedonisme terjadi karena adanya perubahan perilaku pada masyarakat yang hanya menghendaki kesenangan.Perilaku tersebut lama kelamaan mengakar dalam kehidupan masyarakat termasuk para remaja yang pada akhirnya menjadi seperti sebuah budaya bagi mereka tingkat pengetahuan dan pendidikan juga sangat berpengaruh pada pembentukan sikap mental para remaja.Tapi sayangnya kadang semua hal itu terkalahkan dengan rendahnya cara berfikir mereka dalam menyikapi berbagai persoalan. Banyak diantara para remaja yang melarikan diri dari masalah dengan berhura-hura. Kebiasaan seperti inilah yang kemudian menjadi kebudayaan di kalangan remaja.
Dalam identifikasi mentalitas budaya yang dikemukakan Sorokin, sikap hedonisme yang telah menjadi budaya hedon di kalangan remaja dimasukkan dalam kebudayaan indrawi. Yaitu kebudayaan indrawi pasif dan kebudayaan indrawi sinis. Kebudayaan indrawi pasif yang meliputi hasrat menikmati kesenangan indrawi setinggi-tingginya (“eksplorasi parasit”, dengan motto makan minum dan kawinlah sebab besuk kita akan mati).Pola pikir seperti itulah yang mengajak para remaja hanya bersenang-senang selagi ada kesempatan,seakan-akan hidup hanya”mampir”karena itulah mereka hanya mengejar kesenangan,padahal masih banyak hal yang bernilai dalam hidup ini selain makan minum dan bersenang-senang saja.
Kebudayaan indrawi sinis, yang mengejar tujuan jasmaniah dengan mencari pembenaran rasionalisasi ideasional (yang sebenarnya tidak diterimanya). Banyak hal yang dilakukan para remaja untuk mencapai apa yang diinginkannya, missal: seorang remaja putri ingin mempunyai telepon genggam model terbaru tapi karena dia tidak mempunyai uang maka dia rela menjual dirinya agar memperoleh uang. Remaja tersebut membenarkan tindakannya karena dengan cara itu dia memperoleh apa yang diinginkannya.
6.      Hedonisme Dalam Pandangan Islam
Islam adalah ajaran yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, praktis, dan mudah. Islam memberikan tuntunan terkait hal yang bersifat individu dan yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)Islam mengajak manusia ke alam nan bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh makna. Islam membebaskan manusia dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendali hidup. Melalui Islam, manusia menjadi tercerahkan. Kebodohan yang tergumpal di dada manusia terbuncah, memberai lalu sirna. Islam dengan sinarnya yang kemilau memupus kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap nilai jahiliah.
Adapun orang-orang yang berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya senantiasa diwarnai oleh noda hitam pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.“Barang siapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima (amal perbuatannya) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85). Lantaran keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang lurus dan benar, mereka lebih condong bergelut dengan beragam maksiat. Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba mereguk materi sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu semu, tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’, mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan menerobos rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap. Bagai dikebiri, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai sosok muslim taat pun mandul. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Allah  menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179).
Karena keadaan hati yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan ortodoks. Islam hanya akan mengekang kebebasan manusia dalam berbuat, berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam mereka tuduh sebagai manusia picik. Singkat kata, Islam hanya akan memberangus apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan mengebiri pergaulannya. Padahal Allah  berfirman, “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78).  “Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3).
Celoteh mereka hakikatnya menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar. Bisa jadi, hal itu karena kedengkian yang ada pada hati mereka. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, yang jelas sikap apriori mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan mendapat angin segar. Inilah gerakan yang disinyalir melalui firman-Nya, “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf: 8).
Akibat sikap buruk terhadap Islam, mereka pun mematri aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerusakan di semua lini kehidupan. Dalam pergaulan antarjenis manusia, kerusakan kronis telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa takut kepada Allah, tanpa malu, dan tanpa risih mereka tiru mentah-mentah perbuatan yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata, “Sesungguhnya dari apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no. 6120 dari sahabat Abu Mas’ud z).
Menjelaskan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan mengantarkan kepada hal yang tak patut, seperti perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 181).
Jika malu sudah tidak lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah  dan Rasul-Nya menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata risih. Jangankan malu, risih saja tidak. Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern. Kalau tidak berbuat dan menerapkan hal demikian, bakal merugikan kehidupannya, masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Fenomena ini digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya, Katakanlah, “Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104).
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50). Padahal, apa yang dibanggakannya bisa menjadi sumber bencana. Prinsip-prinsip yang menggayut dalam benaknya adalah pemantik petaka dan perantara turunnya azab Allah. Firman-Nya, “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63).
Maka dari itu, yang sekiranya hal itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi. Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah. Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Apa yang telah kularang padamu darinya, tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu Hurairah). Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli kesenangan yang didapat dia tempuh dengan cara apa. Baginya, kesenangan adalah satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup kaum hedonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa Yunani yang berarti kesenangan) digulirkan oleh salah seorang murid Socrates yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55).
Pemahaman ini diusung pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan ide Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan ide bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebagian manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu birahi cenderung meningkat dan digandrungi. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah merembes dan menjadi bagian hidup sebagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bagian yang menyenangkan saja. Adapun hal yang bakal memayahkannya, dia hindari. Dia tidak mau peduli bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu dirinya hanya bisa nongkrong di mal, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah sebenarnya bisa. Apa yang melekat pada dirinya harus selalu terkesan mewah dan elegan.
Gaya hidup hedonis identik dengan gaya hidup glamor, hura-hura, foya-foya, dan bersenang-senang. Gaya hidup hedonis akan mengantarkan seseorang pada sikap mental yang tidak mau peduli dan peka melihat keberagaman hidup, tidak memiliki sensitivitas terhadap kesulitan hidup orang lain. Singkat kata, gaya hidup hedonis melahirkan manusia-manusia yang tumpul sikap sosialnya, melahirkan jenis manusia asosial. Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun kampung akhirat adalah hal yang lebih utama. Allah  berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32).
Rasulullah saw. mengibaratkan kehidupan dunia bagai seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon. Kala lelah telah sirna dari tubuhnya, pengelana itu pun melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat sesaat. Nabi saw. bersabda, “Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669). Dalam sebuah hadits dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi  disebutkan, “Seorang lelaki datang kepada Nabi . Laki-laki itu berkata kepada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab Rasulullah saw, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944). 
Sikap zuhud bisa dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan dari hartanya guna kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95).
Menyikapi kehidupan dunia dengan bimbingan syariat, niscaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau oleh kemilau dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan abadi. “Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17). Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah, “Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya) adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5). Begitulah dunia, dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.
7.      DAMPAK HEDONISME MASA KINI
Arus globalisasi turut serta mendukung maraknya budaya hedonisme yang berkembang pesat dilingkungan masyarakat Indonesia. Perkembangan paling pesat terlihat dari kalangan mahasiswa, yang diposisikan sebagai golongan intelektual muda. Hal tersebut yang menyebabkan terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu. Sesungguhnya keinginan untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri semua manusia, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam masyarakat karena hal itu akan banyak menimbulkan dampak negatif. Sebenarnya kita boleh gaul tapi jangan over, senang-senang juga tidak dilarang apalagi bagi para pemuda pemudi tapi kesenangan itu jangan dilakukan setiap saat.  Hedonisme rawan menimbulkan sifat individualisme karena manusia cenderung akan bekerja keras untuk memenuhi kesenangannya tanpa mempedulikan orang lain di sekitarnya.
DAMPAK NEGATIF HEDONISME
      Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri. Jika hal-hal tersebut mampu menggeser budaya bangsa Indonesia maka sedikit demi sedikit Indonesia akan kehilangan jati diri yang sesungguhnya.
      Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraa, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
      Sikap egoisme akan semakin membudaya, inilah bukti hedonisme yang menjadi impian kebanyakan anak muda.
      Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler karena sistem inilah yang menyebabkan hedonisme berkembang secara pesat.
      Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
      Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang akhir-akhir ini marak terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
C.     PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Paham Hedonisme adalah paham yang bertentangan dengan Islam, yang artinya adalah haram bagi kaum muslim menjadikannya sebagai bagian dari aktivitasnya. Dan juga haram untuk meyakini bahwa hedonisme adalah sesuai Islam.
b.      Kaum muslim boleh mempelajari paham hedonisme dalam rangka untuk mengkritik dan juga untuk memberikan kesalahan paham ini kepada kaum muslim yang lain.
c.       Hedonisme adalah derivasi (turunan) dari liberalisme. Sebuah pandangan hidup bahwa kesenangan adalah segalanya, bahkan kehidupan itu sendiri. Bagi kaum hedonis, hidup adalah meraih kesenangan materi: sesuatu yang bersifat semu, sesaat, dan artifisial.
d.      Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal dan memberikan kepuasaan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.


DAFTAR PUSTAKA

Albert E. Avey.1954, Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnes & Noble, Inc. Hlm. 23.
Dr. Fuad Farid Ismail., Dr. Abdul Hamid Mutawali. 2012. Cara Mudah Blajar Filsafat. Jogjakarta: IRCISOD
Drs. A. Susanto, M.Pd. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis, Epistomologis dan Aksiologis.Jakarta: Bumi Aksara.
Eduard Zeller.1957, Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. Hlm. 129-133.
Franz Magnis-Suseno.1997, 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 49-50.
Franz Magnis-Suseno.1987, Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 114.
Haditomo, Siti Rahayu dkk.2006.PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.Jogjakarta : Gadjah Mada Universiti Press
Henk ten Napel.2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 158.
http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/
Kattsoff,Louis O.2004.PENGANTAR FILSAFAT.Jogjakarta:Tiara Wacana
Lorens Bagus.2000, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Hlm. 282.
Sensa, Muhammad Djarot.2005.KOMUNIKASI QUR’ANIYAH.Bandung: Pustaka Islamika